Suku Korowai, dari Tinggal di Rumah Pohon Sampai Melakukan Kanibalisme
Di Indonesia masih ada kelompok atau suku yang terasing terutama di Papua, dimana disana modernisasi terasa sangat lambat. Suku Korowai adalah diantaranya, sebuah suku di pedalaman Papua sebelah barat berbatasan dengan negara Papua Nugini. Jumlahnya diketahui sebanyak 3000 orang.
Sebelumnya Suku Korowai tak pernah berinteraksi dengan orang asing bahkan mereka tidak tahu ada manusia lain di dunia ini selain mereka. Sampai sebuah tim ekspedisi menemukan mereka sekitar tahun 1970-an, ekspedisi tersebut dipimpin oleh seorang antropolog Peter Van Arsdale, ahli geografi Robert Mitton, dan pengembang komunitas Mark (Dennis) Grundhoefer.
Ciri-ciri fisik dan penampilan mereka tak ubahnya dengan suku lain yang ada di Papua. Suku Korowai masih hidup dengan cara yang tradisional dimana mereka makan dengan cara berburu dan bertani. Sagu adalah santapan utama mereka, dan semua yang ada di hutan bisa mereka manfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka. Suku ini terampil berburu dan juga masih melakukan perdagangan benda seperti tulang, perhiasan, dan pisau. Namun, berbeda dengan suku pedalaman Papua lainnya yang menggunakan koteka, Korowai justru tak menggunakannya. Mungkin karena Suku Korowai benar-benar terisolir, bahkan dari suku pedalaman lainnya di Papua sekalipun.
Alat-alat yang mereka gunakan masih sangat sederhana yakni bambu yang tajam untuk mengiris daging, kerang untuk menampung air, dan air panas di batu tempat memasak. Sementara, babi dan anjing hutan menjadi hewan peliharaan Suku Korowai. Bagi mereka, babi memiliki nilai sosial dan hanya dibunuh saat ritual dan acara-acara khusus. Sedangkan anjing mereka gunakan sebagai hewan berburu.
Yang paling menarik dari Suku Korowai adalah rumah pohonnya. Orang-orang Suku Korowai tinggal di rumah pohon yang tingginya tak main-main bisa sampai 50 meter. Alasan mereka tinggal di atas pohon selain agar terhindar dari ancaman makhluk buas juga agar menjauhi roh jahat, mereka percaya semakin tinggi rumah mereka semakin jauh mereka dari roh jahat. Dalam kepercayaan Suku Korowai dikenal makhluk bernama Laleo atau iblis yang kejam. Laleo adalah makhluk yang berjalan seperti mayat hidup dan berkeliaran pada malam hari. Mereka membangun rumah di ketinggian kabarnya juga agar tidak terkena gigitan nyamuk.
Terlepas dari semua alasan tersebut, Suku Korowai begitu menghargai nenek moyangnya. Oleh karena itu, mereka juga menganggap bahwa rumah tinggi merupakan warisan leluhur, sehingga mereka merasa nyaman tinggal di sana, meski harus bersusah payah memanjat pohon yang begitu tinggi.
Rumah pohon yang begitu tinggi secara logika tentu tidak normal. Suatu saat angin bisa saja berhembus kencang dan dengan cepat dapat menghancurkan rumah tersebut. Karena itulah, Suku Korowai tidak sembarangan dalam memilih pohon. Mereka memilih pohon-pohon yang besar nan kokoh sebagai pondasi rumahnya. Pucuk pohon tersebut digunduli untuk kemudian dibangunlah rumah mereka.
Semua bahan dibuat menggunakan bahan dari alam dan proses pembuatan rumah pohon menggunakan tangan, tanpa bantuan alat modern apapun. Kerangka rumah pohon terbuat dari batang-batang kayu kecil, sedangkan lantainya menggunakan cabang pohon. Sedangkan untuk dinding dan atap rumah, mereka menggunakan kulit pohon sagu dan daun-daun di hutan. Setelah itu semua bahan tersebut diikat menggunakan tali.
Rata-rata rumah pohon Suku Korawai memiliki ukuran sekitar tujuh kali sepuluh meter. Rumah pohon dengan ukuran lebih besar memiliki penyekat ruang dan pintu berbentuk runcing dimasing-masing ujung. Ada satu pintu untuk penghuni pria, dan pintu lainnya untuk wanita. Di rumah pohon Suku Korawai juga terdapat sebuah perapian yang terbuat dari tanah liat yang digantungkan di atas ruang terbuka, sehingga perapian tersebut mudah dipotong dan dibuang jika api tidak terkendali.
Biasanya, pembangunan sebuah rumah pohon dapat memakan waktu hingga tujuh hari. Suku Korawai masih memegang teguh adat istiadat leluhurnya. Sehingga, sebelum mereka mendirikan sebuah rumah, mereka akan melakukan ritual malam terlebih dahulu untuk mengusir roh jahat. Karena hanya menggunakan bahan alami, konstruksi rumah pohon Suku Korawai hanya bertahan hingga tiga tahun lamanya. Satu rumah pohon besar dihuni hingga sepuluh orang atau lebih.
Suku Korowai memiliki kehidupan yang begitu seimbang. Mereka begitu menjaga hubungannya dengan sesama manusia dan alam. Selain itu, mereka juga menjaga baik hubungannya dengan dunia roh, karena mereka percaya bahwa semesta ini dipenuhi dengan makhluk spiritual yang berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka.
Seorang akademisi dari Kampus Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua, Rhidian Yasminta, melakukan riset tentang Suku Korowai sejak 2016. Menurutnya, Suku Korowai begitu menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dalam sebuah hubungan sesama manusia. Begitu setaranya, menjadikan mereka hidup tanpa ada strata sosial seperti kepala suku atau panglima perang.
Dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan seorang laki-laki dan perempuan sama saja. Misalnya di sebuah rumah tangga, mereka hampir tidak membagi pekerjaan berdasarkan gender. Jadi, semua kegiatan mereka lakukan secara bersama-sama. Namun, beberapa hal yang tidak bisa diubah-ubah dan harus dilakukan sesuai gender, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui yang hanya bisa dilakukan perempuan.
Suku Korowai melihat dari bagaimana posisi seorang wanita, terutama jika ibu mertua dari garis perempuan yang sangat dihormati. Sehingga, seorang anak menantu laki-laki harus menjaga tata karma, yaitu tidak boleh menatap wajah mertua perempuannya secara langsung. Walaupun Suku Korowai berada di pedalaman dan terasing, namun rumah pohon yang mereka bangun menjadi bukti kecerdasan mereka. Suku Korowai juga memiliki kebudayaan yang begitu murni, sehingga dapat diteladani tentang hubungan mereka sesama manusia, maupun dengan alam, yang begitu seimbang.
Yang lebih menarik (atau menyeramkan) dari Suku Korowai adalah prilaku kanibalismenya. Namun, kanibalisme yang dilakukan oleh Suku Korowai tidak seperti yang ada di cerita horor atau film. Mereka tidak memakan manusia begitu saja.
Suku Korowai tidak tahu apa-apa soal kuman atau penyakit, meskipun khusus untuk batuk mereka menjadikan larva semut sebagai obat, namun mereka tidak tahu akan penyakit lainnya seperti malaria yang paling berpotensi menyerang mereka. Jika ada yang meninggal karena penyakit yang mereka tidak tahu, mereka percaya kalau itu ulah Khakua (penyihir) dan si Khakua sedang menyamar menjadi salah satu dari mereka. Karena itulah akan ditentukan siapa terduga atas kematian tersebut di antara mereka, kemudian dengan pengadilan yang mereka adakan, Jika terbukti bersalah mereka akan membunuh orang tersebut karena dianggap sebagai penyihir. Kemudian menyantap dagingnya untuk benar-benar memusnahkan si Khakua, ibu hamil dan anak-anak tidak ikut serta dalam hal ini. Setelah memakan habis tubuh Khakua, mereka akan memukul-mukul dinding rumah tinggi mereka dengan kayu sambil bernyanyi semalaman.
Orang Suku Korowai yang melanggar peraturan mereka juga akan diberikan hukuman yang sama, menjadi santapan Suku Korowai. Jadi, kanibalisme bagi mereka adalah sebuah sistem peradilan layaknya penjara di kehidupan kita.
Selain orang yang diduga sebagai Khakua dan yang melanggar peraturan, orang yang sakit keras dan tak kunjung sembuh juga jadi korban kanibalisme suku ini. Tujuannya mungkin agar si penderita penyakit tidak menderita lebih lama lagi di dunia, maka orang yang sakit dalam waktu lama lebih baik mati.
Pada Mei 2006, pemandu wisata dan jurnalis, Paul Raffaele memimpin kru dalam ekspedisi ke hutan Papua. Tujuannya untuk membuat film dokumenter tentang suku Korowai. Dia ingin memahami mereka dan alasan mereka melakukan beberapa ritual yang mengerikan.
Paul menulis dalam artikelnya, "Kanibalisme dipraktikkan di antara manusia prasejarah, dan itu bertahan hingga abad ke-19 di beberapa kebudayaan Pasifik Selatan yang terisolasi, terutama di Fiji. Tapi hari ini Korowai adalah satu dari sedikit suku yang diyakini memakan daging manusia."
Dia melanjutkan dengan detail penulisannya, “Mereka tinggal sekitar 100 mil dari Laut Arafura, dimana Michael Rockefeller, putra gubernur New York, Nelson Rockefeller, menghilang pada 1961 saat mengumpulkan artefak dari suku Papua lainnya. Tubuhnya tidak pernah ditemukan."
Pria ini juga menegaskan bahwa sebagian besar orang Korowai hidup dengan mengabaikan dunia di luar suku mereka. Paul menuliskan, "Seperti yang ditulis van Enk, Korowai sering terkena beberapa wabah penyakit, termasuk malaria, tuberkulosis, elephantiasis, anemia, dan apa yang dia sebut 'Kompleks Khakua'. Korowai tidak memiliki pengetahuan tentang kuman mematikan yang menduduki hutan mereka, dan begitu percaya bahwa kematian misterius disebabkan oleh Khakua, atau penyihir yang mengambil bentuk laki-laki."
Menurut pemandu Paul, Kembaren "Banyak Khakua dibunuh dan dimakan setiap tahun.Dalam sebuah wawancara yang dilakukan Paul dengan pemimpin suku, dia menjelaskan alasan orang Korowai mempraktikkan kanibalisme, "Bagi Korowai, jika seseorang jatuh dari rumah pohon atau terbunuh dalam pertempuran maka alasan kematian mereka cukup jelas. Tetapi mereka tidak memahami mikroba dan kuman, jadi ketika seseorang mati secara misterius, mereka percaya itu adalah karena seorang Khakua, penyihir lelaki yang datang dari akhirat. Seorang Khakua harus dibunuh dengan cara dimakan. Sebab Khakua sebenarnya adalah orang mati. Memakan mereka dianggap sebagai sistem keadilan terbaik."
Namun saat ini sudah banyak warga suku Korowai yang mulai membuka diri dan hidup membaur dengan masyarakat modern lainnya di Papua.
Referensi:
www.wikipedia.org
www.indonesia.go.id
www.suryamalang.tribunnews.com
www.hot.grid.id
www.merahputih.com
www.boombastis.com
www.grid.id
www.yukepo.com
www.mytrip.co.id
Posting Komentar untuk "Suku Korowai, dari Tinggal di Rumah Pohon Sampai Melakukan Kanibalisme"