Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Misteri Lukisan di Hotel Tugu Malang

Misteri Lukisan di Hotel Tugu Malang.jpg

Di Hotel Tugu Malang ada sebuah lukisan yang kerap menarik perhatian. Lukisan tersebut berupa sosok wanita berambut panjang yang dibelakangnya ada sebuah cermin hingga kita bisa melihat bagian belakang sosok wanita tersebut dan rambut panjangnya. Kesan pertama melihatnya memang agak bikin merinding. Masyarakat Indonesia yang masih dekat dengan hal-hal mistis membuat lukisan ini kerap kali disebut punya sisi misterinya.

Lukisan Seorang Wanita di Hotel Tugu Malang.jpg

Apakah lukisan ini memang lukisan misterius? Siapa sosok wanita di lukisan tersebut?

Nyatanya, lukisan ini hanyalah lukisan biasa, tidak ada unsur supranatural, gaib, misterius atau semacamnya dalam lukisan ini. Isu-isu yang beradar tentang lukisan ini kemungkinan hanyalah rumor belaka, karena latar belakang terciptanya lukisan ini pun tidak berkaitan dengan hal-hal mistis. Sosok wanita dalam lukisan tersebut adalah Oei Hui Lan yang merupakan putri Raja Gula Asia Tenggara, Oei Tiong Ham.

Oei Tiong Ham, Raja Gula dan Salah Satu Orang Terkaya di Asia Tenggara

Oei Tiong Ham (lahir di Semarang, 19 November 1866 - meninggal di Singapura, 6 Juni 1924 pada umur 57 tahun) adalah pengusaha Hindia Belanda berdarah Tionghoa yang merupakan putra dari Oei Tjie Sien, pendiri perusahaan perdagangan multinasional Kian Gwan. Lahir di Semarang, Jawa Tengah, Hindia Belanda (kini Indonesia), ia menjadi orang terkaya di Hindia Belanda dan Timur Jauh pada awal abad ke-20. Berjuluk 'Sang Raja Gula', kekayaannya bertumpu pada industri gula. Ia juga mengabdi sebagai Luitenant der Chinezen dalam pemerintahan kolonial di Semarang dan memiliki pangkat Majoor sampai purna tugasnya.

Di Singapura, tempatnya ia berpindah untuk menghindari pajak dan masalah hukum waris di Hindia Belanda, ada jalan bernama Oei Tiong Ham sebagai tanda penghargaan. Taman di dekat Holland Road, juga diberikan nama Oei Tiong Ham sebagai penghargaan. Julukan lainnya, 'Manusia 200 Juta', berasal dari kekayaannya yang berhasil mencapai 200 juta gulden saat kematiannya pada 1924 di Singapura.

Oei Tiong Ham dilahirkan sebagai anak kedua dari delapan orang anak di dalam keluarganya. Ayahnya, Oei Tjie Sien, adalah seorang pengusaha totok yang berasal dari daerah Tong An di Fujian, Tiongkok. Walaupun mapan, keluarga Oei bukanlah bagian dari kalangan Cabang Atas Peranakan, yang adalah elite tradisional Tionghoa di Hindia Belanda. Ibunya, Tjan Bien Nio, adalah seorang Peranakan kelahiran Jawa dari keluarga menengah.

Oei Tiong Ham melakukan ekspansi bisnis ayahnya, Kian Gwan, menjadi Oei Tiong Ham Concern (OTHC), perusahaan konglomerat terbesar di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.

Oei Hui Lan, Wanita di Lukisan Hotel Tugu Malang

Oei Hui-lan yang dikenal sebagai Madame Wellington Koo, adalah seorang sosialita dan ikon gaya berdarah Tionghoa-Indonesia. Ia juga pernah menjadi Ibu Negara Republik Tiongkok dari akhir 1926 hingga 1927. Ia pernah menikah dengan agen konsuler Inggris Beauchamp Caulfield-Stoker, dan kemudian dengan negarawan Tiongkok pada zaman pra-komunis, Wellington Koo. Oei Hui-lan merupakan putri dan pewaris seorang pengusaha Indonesia pada zaman kolonial, Oei Tiong Ham.

Oei Hui-lan lahir pada 2 Desember 1889 dalam sebuah keluarga Tionghoa Peranakan di Semarang, Jawa Tengah, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Ayahnya, pengusaha Majoor-titulair Oei Tiong Ham, mengepalai Kian Gwan, sebuah perusahaan yang didirikan oleh kakeknya Oei Tjie Sien pada 1863 yang menjadi konglomerat terbesar di Asia Tenggara pada permulaan abad kedua puluh.

Ibunya, Goei Bing-nio, adalah istri tua ayahnya dan satu-satunya pasangan sahnya dan – tak seperti keluarga orang kaya baru Oei – berasal dari Cabang Atas, kelompok priyayi Tionghoa di Indonesia pada zaman kolonial. Melalui ibunya, Hui-lan merupakan keturunan dari pedagang-mandarin Goei Poen Kong, yang menjabat sebagai Boedelmeester, kemudian Luitenant der Chinezen di Semarang pada akhir abad kedelapan belas. Jabatan-jabatan Tionghoa, yang meliputi pangkat-pangkat Majoor, Kapitein, dan Luitenant der Chinezen, adalah jabatan pemerintahan sipil dalam birokrasi kolonial Belanda di Indonesia. Keluarga Goei dari pihak nenek Oei bermula dan berpengaruh di Semarang sejak 1770-an, dan awalnya telah membangkitkan sosial dan ekonomi ayahnya.

Hui-lan, yang memakai nama Angele pada masa mudanya, memiliki seoran kakak, Oei Tjong-lan, alias Gwendoline, dari ibu yang sama. Selain itu, ayahnya memiliki 18 istri muda dan gundik, serta sekitar 42 anak, termasuk saudara seayahnya Oei Tjong Hauw.

Dua bersaudari Oei – sebagai putri dari istri tua Oei – tinggal dengan ayah mereka dan dididik di rumah oleh sejumlah pengajar Eropa di Semarang, meraih pemahaman modern sesuai standar kontemporer. Hal ini mencerminkan westernisasi Cabang Atas di Indonesia pada zaman kolonial dari akhir abad kesembilan belas. Selain bahasa Melayu, Hui-lan dapat berbicara dalam bahasa-bahasa Inggris dan Prancis, dan sedikit Hokkien, Mandarin, serta Belanda.

Pada Maret 1907, Angele mengadakan pertunjukan vokal di gedung sekolah THHK, Semarang dalam rangka pengumpulan dana untuk sekolah tersebut. Ia diiringi oleh kemenakannya yang berusia enam belas tahun, Lim Tshoen, dari Singapura dan keponakannya yang berusia dua belas tahun, Arthur Lim, menggunakan piano. Angele mementaskan karya-karya buatan komponis Prancis: Charles Gounod ("Siebel" dalam Faust) dan Georges Bizet (dari opera Carmen) dengan elegan, dalam bahasa Prancis.

Sambutan dan sorotan besar terhadap Oei bersaudari diketahui oleh R.A. Kartini, seorang arsitokrat Jawa dan pionir penggiat hak perempuan. Di samping latar belakang kosmopolitan mereka, kontak Oei bersaudari dengan budaya Jawa tampaknya terbatas pada para pelayan mereka, dan diurus oleh ibu mereka pada kunjungan langsung dan pementasan gamelan ke berbagai istana kerajaan Jawa.

Ia muncul beberapa kali dalam majalah Vogue pada daftar wanita berbusana terbaik pada 1920an, 30an, dan 40an. Vogue memuji Oei Hui Lan pada 1942 sebagai "seorang warga Tionghoa dari dunia, sebuah kecantikan mancanegara", atas keputusan cemerlangnya untuk mempromosikan kebaikan antara Timur dan Barat.

Ia menulis dua autobiografi dalam kolaborasi, mula-mula pada 1943 dengan kolumnis masyarakat untuk The Washington Post Mary Van Rensselaer Thayer, kemudian pada 1975 dengan wartawan Isabella Taves. Pada 1980an, ia terlibat dalam serangkaian usaha gagal di negara asalnya Indonesia, yang meliputi perkapalan, tembakau dan sepeda.

Ia wafat pada 1992, ia meninggalkan mantan suaminya dan dua putranya. Usaha yang dibangun oleh kakek dan ayahnya dikandaskan oleh Soekarno setelah Revolusi Indonesia; dan Republik Tiongkok di mana ia dan suaminya mengabdi selama beberapa dasawarsa kehilangan Tiongkok daratan dari Partai Komunis.

Pada akhirnya lukisan di Hotel Tugu Malang tidak ada mistisnya sama sekali, mungkin karena perasaan seram saat pertama kali orang-orang melihat lukisan tersebut yang memunculkan rumor tersebut, sebenarnya ini lukisan biasa.

Keywords: pemilik, sejarah, profil, lukisan oei hui lan, foto, lukisan wanita, misteri lukisan hotel tugu malang, restoran

Posting Komentar untuk "Misteri Lukisan di Hotel Tugu Malang"